INDUSTRI BUKU DI INDONESIA
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR CETAK
Dosen : Prof. Bintang P Sitepu
Disusun oleh :
Adi Milano Putra 1215115150
Muhammad Candra Munandar 1215116017
Satrio Budi Rahardjo 1215115143
Wahyudi Seto Aji 1215115144
JURUSAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
TAHUN 2013
Bab
I
Pendahuluan
A. Latar
belakang
Buku
merupakan salah satu sumber media belajar yang dari dahulu kala hingga saat ini
masih menjadi sumber utama bagi manusia dalam membantu proses
pembelajaran. Buku dapat diartikan
adalah sekumpulan kertas atau bahan lainnya yang dijilid menjadi satu pada
salah satu ujungnya dan berisi tulisan atau gambar. Sedangkan menurut kamus
besar bahasa Indonesia (1998, hal 152) buku berarti lembar kertas yang
berjilid, berisi tulisan atau kosong. Sedangkan menurut Ensklopedi Indonesia
(1980, hal 538) memberikan pengertian buku secara lebih luas dengan menyebutkan
bahwa dalam arti luas buku mencakup semua tulisan dan gambar yang ditulis dan
dilukis atas segala macam lembaran papirus, lantar, perkamen dan kertas dengan
segala bentuknya: berupa gulungan, dilubangi dan diikat dengan atau dijilid
muka belakangnya dengan kulit, kain, karton dan kayu. Pengertian EI ini lebih luas dari yang
diberikan oleh atau dalam KBBI.
Lalu
para ahli juga memberikan pengertian-pengertian mereka terhadap arti dari buku
itu sendiri. H.G. Andriese dkk secara sederhana menyebutkan buku merupakan
“informasi tercetak diatas kertas yang dijilid menjadi satu kesatuan”. Lalu
salah satu organisasi dari PBB , yaitu
UNESCO pada tahun 1964, dalam H.G. Andriese dkk. memberikan pengertian buku
sebagai “Publikasi tercetak, bukan berkala, yang disedikitnya sebanyak 48
halaman”. Semua pengertian diatas tadi memiliki perbedaan antara rumusan satu
dengan yang lainnya. Jika menurut pengertian dari KBBI bahwa bahan buku itu adalah
kertas yang disusun dalam bentuk jilidan serta berisi tulisan atau kosong. Atas
dasar ini maka jika buku terbuat bukan dari bahan kertas maka menurutu KBBI itu
bukanlah sebuah buku. Sedangkan menurut Ensiklopedi Indonesia (EI) pengertian
buku itu sendiri menjadi lebih luas. Dalam EI mengatakan bahwa buku tidak hanya
terbuat (terbatas) dari kertas semata tetapi juga dari bahan lain seperti
papirus, lontar, dan perkamen.
Lalu
pengertian buku menurut H.G. Andriese dkk. lebih memberikan ciri buku itu sendiri
sebagai kumpulan kertas tercetak dan terjilid tanpa batasan jumlah halaman.
Namun dalam pengertian ini juga mengatakan bahwa buku terdiri dari bahan kertas
seperti definisi dalam KBBI. Kemudian pengertian menurut UNESCO lebih
memperhatikan aspek dari terbitannya dan
pada batasan halaman tertentu (yaitu berjumlah 48 halaman). Jika jumlah halaman
kurang dari 48 halaman, maka UNESCO menyebutnya sebagai “brosur”. Namun dalam
kenyataanya jumlah halaman tidak dijadikan petunjuk atau acuan dalam mengenali
sebuah buku.
Dari
keempat pengertian tersebut dapat disepakati bahwa buku pada umumnya sekumpulan
kertas yamg terjilid tanpa pembatasan ukuran (tinggi dan lebar) dan jumlah
halaman yang maksimal.
B.
MASALAH
Indonesia sebagai
negara yang sedang berkembang sangat membutuhkan buku sebagai salah satu sumber
informasi untuk belajar dan proses pembelajaran. Dalam dunia pendidikan buku
merupakan salah satu tonggak utama terjadinya proses pembelajaran.
Berbicara tentang
perbukuan, tentunya ada beberapa unsur yang harus dibahas yakni pencipta ide,
penerbit, percetakan, penyaluran dan masyarakat pembaca. Kelima pilar tersebut
berdiri sama tegak dan sejajar serta
saling bersinergi dalam menumbuhkembangkan industri buku. Masalah-masalah
perbukuan yang muncul di Indonesia tergantung kepada kelima pilar tersebut.
Apabila pilar-pilar tersebut berjalan sesuai dengan fungsinya dan profesional
maka akan berdampak positif bagi industri buku di Indonesia.
Berdasarkan Kongres Perbukuan Nasional (KPN),
Indonesia menempati posisi terakhir di Asean setelah Philipina dan yang teratas
adalah Singapura. Data ini masih membuktikan bahwa perbukuan di Indonesia masih
belum memiliki taring. Mengapa hal in bisa terjadi ? kembali lagi kepada 5 pilar tadi.
Permasalahan perbukuan
di Indonesia harus patut dicermati, dalam hal ini pemerintah memiliki peranan
penting karena pemerintahlah yang membuat kebijakan-kebijakan tentang
perbukuan. Dan kebijakan yang selama ini dikeluarkan pemerintah hanya menambah
monopoli perbukuan oleh penerbit tertentu saja. Seandainya pemerintah mampu
bertindak tegas maka permasalah terhadap perbukuan nasional dapat
ditanggulangi.
Kualitas
buku yang beredar masih belum memberikan pencerahan kepada masyarakat dan
penyaluran ke berbagai daerah yang masih bermasalah serta yang paling penting
adalah daya beli masyarakat Indonesia. Daya beli ini dipengaruhi oleh minat
baca masyarakat yang masih rendah. Serta permasalahan plagiat yang semakin
meningkat.
Inilah permasalahan perbukuan yang ada.
Begitu banyak unsur yang terlibat, dan untuk memperbaiki sistem yang sudah
menjadi akar di Indonesia maka rakyat Indonesia perlu kerja keras dan semangat
dalam memberikan yang terbaik untuk negeri tercinta Indonesia.
C. Rincian
Masalah
1.
Bagaimana
perkembangan buku di Indonesia?
2.
Apa
saja keunggulan, keterbatasan, fungsi dan jenis buku?
3.
Apa
saja fondasi dasar (pilar) perbukuan di
Indonesia?
4.
Analisis
mengenai permasalahan perbukuan di Indonesia?
D. Tujuan
Setelah mempelajari
pembahasan ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan keunggulan, keterbatasan,
fungsi dan jenis buku. Namun sebelumnya mahasiswa harus mengetahui perkembangan
buku di Indonesia. Sehingga mahasiswa dapat mengetahui pilar perbukuan di
Indonesia dan dapat menganalisis permasalahan dalam hal perbukuan yang terjadi
di Indonesia.
E. Rujukan
Pembahasan kelompok kami ini
dirujuk dari sebuah buku yang berjudul “Penyusunan Buku Pelajaran” yang ditulis
oleh Prof. Dr. B.P. Sitepu, M.A. pada tahun 2006 dan pembahasan yang lainnya
bersumber dari internet.
BAB II
Pembahasan
Perkembangan
buku
Perkembangan
buku yang merupakan awalnya berasal dari negara-negara maju sebagai salah satu
media komunikasi bagi manusia, lalu menjalar ke negara-negara berkembang (salah
satunya Indonesia) yang kemudian dalam perkembangannya menjadi sebuah media
(alat bantu) dalam pembelajaran. Selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, maka semakin mudahlah manusia dapat mencetak sebuah buku. Dan
itu juga menjadikan buku lebih mudah dalam proses penyebaran kedalam
negera-negara berkembang salah satunya Indonesia.
Indonesia
sebagai salah satu negara berkembang masih mengandalkan buku sebagai salah satu
media konvensional dalam proses penyampain informasi atau juga sebagai media
cetak, termasuk juga untuk keperluan pendidikan (pembelajaran). Hal ini
terlihat pada lembaga-lembaga pendidikan yang masih banyak menggunakan buku
sebagai sumber belajar utama daripada media lainnya. Pemenuhan kebutuhan buku
suatu negara itu tergantung pada kemampuan industri buku negara itu sendiri, termasuk Indonesia.
Perkembangan
industri perbukuan di Indonesia, menurut Prof. Dr. B.P. Sitepu, M.A. dapat
dilihat dari pilar-pilar Industri buku itu sendiri, seperti pengarang,
penerbit, percetakan, penyalur (distributor), dan masyarakat pembaca.
Keunggulan
Buku
Dibandingkan
dengan media pembelajaran lainnya, buku memiliki keunggulan yang dapat
dikategorikan dalam isi,pemanfaatan, dan harga buku.
1. Isi
Buku
a.
Sesuai
untuk semua jenis informasi atau kajian.
b.
Informasi
dapat disajikan dalam berbagai bentuk.
2. Pemanfaatan
Buku
a.
Waktu
dan tempat belajar dapat disesuaikan.
Buku
dapat dibaca dan dipelajari tanpa batas waktu dan tempat, kapan saja dan dimana
saja dikehendaki asalkan terdapat pencahayaan yang cukup.
b.
Belajar
sesuai dengan kemampuan.
Informasi
dapat dipelajari sesuai dengan kecepatan membaca dan memahami informasi di
dalam buku. Untuk memudahkan pemahaman, buku dapat pula diberi tanda atau di
beri catatan-catatan tambahan.
c.
Mengulangi
dan meninjau kembali
Untuk
meningkatkan pemahaman, pembaca dapat membaca berulang-ulang bagian-bagian yang
menurutnya sulit, sampai memahami maknanya. Siswa dapat pula membandingkan
informasi tentang hal yang sejenis dari buku yang berbeda atau dari sumber
informasi lain.
d.
Bahan
ajar serta tugas-tugas yang siap pakai
Buku
pelajaran yang baik berisi informasi yang lengkap tentang bahan ajar dan
disertai dengan tugas, latihan, dan soal-soal.
e.
Sumber
informasi yang efisien.
Buku
dapat dimanfaatkan oleh banyak pemakai dan dapat dipindahkan dari seorang
pemakai kepada pemakai lain. Walaupun berkali-kali dibaca dan dipelajari banyak
orang, isi buku tidak akan berubah. Dalam kaitannya dengan pemerataan untuk
memperoleh kesempatan untuk belajar, buku merupakan media pembelajaran yang
dapat menjangkau dan memberikan kesempatan yang sama kepada banyak anak.
f.
Tidak
memiliki ketergantungan pada sumber daya.
Tidak
seperti media elektronik lainnya, buku dapat dimanfaatkan tanpa ketergantungan
pada sumber daya seperti tenaga listrik atau baterai. Dengan demikian buku
dapat dibaca dan dipelajari di tempat-tempat yang belum terjangkau listrik.
3. Harga
Buku
a.
Harga
buku relative murah
Bahan
buku terbuat dari kertas dan biaya percetakannya relative murah. Semakin banyak
buku dicetak maka harganya semakin murah.
b.
Dapat
disesuaikan dengan kemampuan daya beli.
Agar
dapat dijangkau oleh kebanyakan lapisan masyarakat, bahan buku dapat pula
dipilih dari kertas Koran yang harganya lebih murah. Contohnya di Cina, pada
umumnya buku-buku pelajaran dicetak diatas kertas Koran. Perbedaan mutu dan
jenis kertas untuk buku pada hakikatnya tidak terlalu mempengaruhi mutu
informasi yang ada di dalamnya. Oleh karena itu buku-buku tertentu diterbitkan
dalam dua edisi, edisi hard cover
untuk sasaran khusus, dan edisi soft
cover/paper back untuk sasaran yang umum/luas.
Keterbatasan Buku
1. Tidak
dapat memenuhi kebutuhan semua siswa di semua tempat dan semua waktu.
Setiap siswa memiliki kemampuan, ciri,
serta kebutuhan yang berbeda-beda. Perbedaan itu terjadi karena perbedaan
pengalaman belajar, budaya, atau geografis. Sehingga penyeragaman buku
pelajaran untuk siswa kurang efektif sebagai sumber belajar untuk mencapai
tujuan pembelajaran yang standar. Pada umumnya, isi buku tidak dapat serta
merta mengikuti perkembangan informasi yang actual karena proses revisi dan
penerbitannya memerlukan waktu yang relative lama.
2. Cenderung
monolog
Informasi datang dari saatu puhak saja
(pengarang buku) dan sulit dapat dilakukan komunikasi interaktif yang bersifat
langsung.
3. Membatasi
kreatifitas
Struktur dan urutan bahan belajar dalam
buku dapat mengurangi kreatifitas guru dalam memilih bahan ajar dan metode
pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa dan lingkungan
pembelajaran.
4. Keterbatasan
daya fisik buku
Buku dibuat dari kertas yang memiliki
daya tahan terbatas. Mudah robek dan rusak apabila terkena air atau kelembaban udara.
Warna kertas juga dapat berubah menjadi kuning sehingga kurang nyaman dibaca.
Fungsi Buku
Buku
pada umumnya dan buku pelajaran pada khususnya berfungsi sebagaisalah satu
sumber informasi untuk :
1.
Memperluas
wawasan.
2.
Memberikan
pengetahuan baru.
3.
Memperdalam
pengetahuan sebelumnya.
4.
Memberikan
inspirasi baru, dan
5.
Mendorong
untuk mengembangkan pengetahuan yang sudah dimiliki.
Jenis
Buku
Berdasarkan
penggunaannya di sekolah, Direktorat Jenderal Pendidikan dasar dan Menengah
(berdasarkan keputusan direktur Jenderal Pendidikan dasar dan menengah No.
262/C/Kep/R.1992), menggolongkan buku ke dalam empat jenis.
1. Buku
Pelajaran Pokok
(Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
No.11 Tahun 2005) dengan definisi :
Buku pelajaran adalah buku acuan wajib
untuk digunakan di sekolah yang memuat materi pembelajaran dalam rangka
peningkatan keimanan dan katakwaan, budi pakerti, dan kepribadian, kemampuan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis,
potensi fisik dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional
pendidikan.
2. Buku
Pelajaran Pelengkap
Buku pelajaran pelengkap atau buku
pengayaan adalah buku pelajaran yang melengkapi isi buku pelajaran pokok. Buku
pelajaran pelengkap dimaksud untuk memperkaya, memperluas dan memperdalam pengetahuan
peserta didik dan mendukung isi kurikulum yang berlaku.
3. Buku
Bacaan
Buku bacaan adalah buku yang digunakan
sebagai penambah pengetahuan atau pengalaman atau juga sebagai hiburan, yang
menurut jenisnya dapat dibedakan menjadi buku bacaan fiksi dan non fiksi.
Perbedaannya dengan buku pelajaran pelengkap terlihat pada bahasa, bentuk, dan
sistematika penyajiannya.
4. Buku
Sumber
Buku sumber berfungsi sebagai rujukan
resmi atas suatu masalah dan kebenaran informasinya dianggap terjamin dan
diakui. Contohnya kamus, atlas, ensiklopedia.
Dilihat dari sasarannya buku dapat juga
dikelompokkan ke dalam a) buku siswa, b) buku guru, dan c) buku guru dan siswa.
Buku siswa adalah buku pelajaran yang disusun khusus untuk keperluan dan
pegangan siswa dalam proses belajar. Buku guru adalah buku yang khusus disusun
untuk keperluan dan pedoman guru dalam membelajarkan siswa dalam mata pelajaran
tertentu. Sedangkan buku guru dan siswa adalah buku yang dijadikan sumber
informasi oleh siswa dan guru dalam proses belajardan membelajarkan.
Penggolongan buku seperti ini menunjukan bahwa buku
dapat digolongkan secara berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang dan
kepentingan.
Pilar Perbukuan
Dalam pelaksanaannya buku membutuhkan beberapa lembaga untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat yaitu: (1) pencipta ide/gagasan, (2) penerbit, (3) percetakan, (4)
penyalur/distributor, dan (5) masyarakat pembaca. Kelima unsur itu saling
berkaitan satu sama lain dan tidak dapat berkembang sendiri-sendiri sehingga
disebut juga sebagai pilar industri buku. Seorang pengarang, yang memiliki
karya pasti akan membutuhkan penerbit dimana penerbit tersebut akan menerbitkan
naskah dalam bentuk cetak, kemudian di cetak oleh percetakan dan disebarluaskan
melalui distributor sampai kepada masyarakat pembaca. Dengan demikian
masing-masing komponen itu saling membutuhkan satu sama lain agar dapat hidup
dan berkembang.
Setiap buku memiliki pengarang, penerbit, pencetak,
penyalur/distributor dan pembaca/pemakainya. Semakin maju industri buku semakin
profesional penanganan masing-masing pilar itu. Oleh karena itu masalah-masalah
perbukuan atau maju mundurnya industri buku pada umumnya berkaitan dengan
kelima pilar tersebut. Jumlah, jenis, mutu, serta penyebaran buku di Indonesia
tidak terpisah dari keadaan lima pilar perbukuan di negeri ini.
. Buku dalam perkembangannya dan dapat
diminati oleh masyarakat Indonesia memerlukan proses yang cukup panjang. Hal
inilah yang menjadi problematika dalam industri buku di Indonesia yang meliputi
:
PENCIPTAAN IDE
Pencipta ide adalah orang yang
melahirkan gagasan yang kemudian dituliskan menjadi isi sebuah buku. Yang
termasuk ke dalam pilar ini ialah pengarang/penulis, penerjemah, dan penyadur
naskah. Pengarang adalah orang yang melahirkan dan menuliskan gagasan atau
pikirannya dalam bentuk naskah. Sedangkan penulis diartikan sebagai orang yang
menuliskan suatu gagasan yang mungkin asli atau tidak asli dari hasil
pikirannya sendiri.
Dalam hal ini jenis buku yang paling banyak dihasilkan adalah untuk
keperluan sekolah atau buku pelajaran, baru kemudian buku perguruan tinggi yang
jumlahnya sama dengan buku agama. Keadaan ini menunjukkan bahwa
penulis/pengarang, penerjemah, serta penerbit menganggap bahwa lembaga-lembaga
pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi) masih merupakan pasar/sasaran utama.
Data ini juga memberikan indikasi, kebanyakan penulis/pengarang dan penerjemah
buku pada umumnya masih berasal dari kalangan guru, dosen, dan ilmuan lainnya.
Dalam kurun lima tahun (1999 -2003)
jumlah rata-rata judul buku baru yang diterbitkan setiap tahun sekitar 6000
judul (termasuk terjemahan). Jumlah ini lebih kecil dibandingkan dengan jumlah
judul buku baru yang diterbitkan di Malaysia (+ 8.500 judul),
Korea (+ 45.000 judul), Jepang (+60.000 judul), dan Amerika
(+ 90.000 judul). Rendahnya produksi buku di Indonesia tidak terlepas
dari kurangnya naskah yang dihasilkan oleh penulis/pengarang, penerjemah, dan
penyadur.
Dilihat dari jenisnya, buku-buku
yang diterbitkan itu dapat digolongkan sebagai berikut:
Tabel
1
Persentase
buku yang diterbitkan dilihat dari jenisnya
NO
|
JENIS BUKU
|
JUMLAH
|
1
|
Buku
Sekolah
|
65 %
|
2
|
Buku
Perguruan Tinggi
|
15 %
|
3
|
Buku
Agama
|
15 %
|
4
|
Buku
Lainnya
|
5 %
|
Sumber:
Kongres Perbukuan Nasional I, 1995
Sungguhpun data yang diacu bersumber
dari dokumen Kongres Perbukuan tahun 1995, nampaknya komposisi jenis buku itu
belum banyak berubah sampai dengan tahun 2003. Komposisi jenis buku yang
diterbitkan itu menunjukkan bahwa jenis buku yang paling banyak dihasilkan
adalah untuk keperluan sekolah atau buku pelajaran, baru kemudian buku
perguruan tinggi yang jumlahnya sama dengan buku agama. Keadaan ini menunjukkan
bahwa penulis/pengarang, penerjemah, serta penerbit menganggap bahwa
lembaga-lembaga pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi) masih merupakan
pasar/sasaran utama. Data ini juga memberikan indikasi, kebanyakan
penulis/pengarang dan penerjemah buku pada umumnya masih berasal dari kalangan
guru, dosen, dan ilmuan lainnya.
Penulis/pengarang, penerjemah dan
penyadur merupakan unsur pertama dan terutama dalam menghasilkan naskah buku.
Mereka memiliki ide/gagasan yang merupakan produk intelektual yang akan
dituangkan dalam bentuk naskah. Oleh karena itu kreativitas mereka itu
mempengaruhi secara langsung jumlah dan mutu buku yang diterbitkan. Semakin
banyak jumlahnya, diharapkan semakin banyak pula jumlah buku yang dihasilkan.
Semakin tinggi mutu mereka, diharapkan semakin bermutu pula buku yang
dihasilkan. Keadaan yang sebaliknya pun akan terjadi pula, karena jumlah dan
mutu penulis/pengarang, penerjemah dan penyadur berpengaruh kuat terhadap
jumlah dan mutu buku yang diterbitkan.
Dalam jenis-jenis profesi yang
tertera dalam buku Statistik Indonesia yang diterbitkan oleh Biro Pusat
Statistik, penulis/pengarang, penerjemah dan penyadur belum
dijadikan sebagai suatu profesi tersendiri. Hal ini terjadi, mungkin karena di
Indonesia pekerjaan menulis/mengarang, menerjemahkan, serta menyadur belum
dianggap sebagai suatu profesi tersendiri. Sungguhpun pekerjaan itu dilakukan,
tetapi bukan sebagai pekerjaan pokok, karena jarang orang dapat hidup
semata-mata dari penghasilan sebagai pengarang. Wartawan memang melakukan
banyak kegiatan menulis, akan tetapi profesi wartawan berbeda dengan
penulis/pengarang buku. Kegiatan wartawan lebih banyak mengumpulkan dan
menuliskan berita, bukan menciptakan ide atau gagasan.
Sungguhpun terdapat orang yang hidup
dari pekerjaan menulis, jumlahnya tidak banyak. Kebanyakan penulis/pengarang di
Indonesia mempunyai profesi utama lain di antaranya sebagai tenaga kependidikan
(guru dan dosen) atau praktisi dengan keahlian khusus. Kelompok ini
sebenarnya sangat potensial untuk menulis, mengarang, menerjemahkan dan
menyadur naskah. Namun sayembara menulis naskah buku di kalangan guru SD,SLTP,
dan SLTA yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Nasional sejak tahun
1988 – 2004 menunjukkan bahwa tidak sampai 2 % dari jumlah semua guru di
Indonesia yang mengikuti sayembara itu setiap tahunnya. Dari laporan
penyelenggaraan sayembara ini diduga bahwa sungguhpun kebanyakan guru menguasai
bidang studi serta memiliki pengalaman membelajarkan dengan menggunakan
berbagai metode, masih sedikit guru yang menguasi teknik menulis naskah buku
pelajaran. Dugaan ini juga diperkuat oleh kelemahan-kelemahan penulisan naskah
dalam sayembara itu. Keadaan ini dapat dimaklumi karena di lembaga pendidikan
tenaga kependidikan, calon guru pada umumnya tidak mempelajari secara khusus
teknik penulisan naskah buku pelajaran.
Sungguhpun penulis/pengarang belum
dinyatakan sebagai profesi tersendiri, terdapat juga organisasi profesi di Indonesia
seperti, Himpunan Pengarang Indonesia “Aksara”, Ikatan Pengarang Indonesia
(Ipindo), Wanita Penulis Indonesia (WPI), dan Himpunan Penerjemah Indonesia
(HPI), Jumlah anggota masing-masing organisasi adalah sebagai berikut.
Tabel 2
Jumlah
anggota organisasi profesi pengarang/penulis dan penerjemah
NO
|
NAMA
ORGANISASI
|
JMLANG
|
1
|
Himpunan
Pengarang Indonesia “AKSARA”
|
120
|
2
|
Ikatan
Pengarang Indonesia (IPINDO)
|
116
|
3
|
Wanita
Penulis Indonesia (WPI)
|
69
|
4
|
Himpunan
Penerjemah Indonesia (HPI)
|
64
|
Catatan:
Jumlah anggota masing-masing organisasi diperoleh secara lisan dari ketua
masing-masing organisasi , 2003. Tidak ada data resmi secara tertulis dan
terdapat beberapa pengarang/penulis termasuk anggota lebih dari satu
organisasi.
Di samping keakuratan data dalam
tabel di atas masih diragukan karena registrasi dan verifikasi anggota
masing-masing organisasi tidak dilakukan secara teratur dan tertib, jumlah
anggota masing-masing organisasi di atas tidak mencerminkan jumlah keseluruhan,
karena terdapat juga kenyataan, seorang pengarang menjadi anggota lebih dari
satu organisasi. Misalnya, ada anggota WPI yang juga menjadi anggota
AKSARA pada waktu yang bersamaan.
Di samping ketiga organisasi
tersebut di atas terdapat juga organisasi lain seperti Forum Sastra Wanita
“Tamening” di Sumatra Barat dan beberapa himpunan penulis di daerah seperti di
Jogyakarta, Bandung, dan Bengkulu. Akan tetapi jumlah angotanya tidak diketahui
secara pasti. Dalam pada itu ada juga organisasi penulis yang mati seperti
Persatuan Penulis Republik Indonesia (Peperindo). Walaupun masih ada sejumlah
penulis/pengarang, penerjemah, dan penyadur yang tidak termasuk ke dalam salah
satu organisasi di atas, data yang dikemukakan menunjukkan sangat kurangnya
jumlahnya dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang sudah melebihi 220
juta orang.
PENERBIT
Penerbit menurut Prof.
Dr. B.P. Sitepu, M.A. dalam bukunya yang
berjudul Penyusunan Buku Pelajaran, adalah badan usaha yang berfungsi untuk menerbitkan naskah dalam bentuk cetakan (media cetak). Dalam melaksankan
fungsinya itu penerbit:
1.
memperoleh naskah dari
pengarang/penulis, penerjemah, dan penyadur;
2.
mempertimbangkan
kelayakan penerbitan naskah;
3.
mengedit naskah dari
segi bahasa dan ilustrasi;
4.
membuat rancangan/desain
penerbitan naskah;
5.
menyerahkan naskah siap
cetak kepada percetakan;
6.
menerima hasil cetakan
dari percetakan; dan
7.
mendistribusikan/menyalurkan
buku itu ke penjual buku.
Dalam zaman kemerdekaan Indonesia, usaha penerbitan berkembang lebih cepat
walaupun pengelolaannya belum benar-benar profesional serta masih terpusat di
pulau Jawa. Jumlah, kualitas dan penyebaran penerbit itu mempengaruhi jumlah
dan mutu buku yang dihasilkan. Kurang menyebarnya tempat penerbit serta
jaringan pemasarannya yang pada umumnya berpusat di kota-kota besar
mengakibatkan di sejumlah wilayah dan desa masih sulit memperoleh buku,
termasuk buku pelajaran.
Sebagai wadah berorganisasi di
kalangan penerbit, pada tanggal 17 Mei 1950 dibentuk Ikatan Penerbit Indonesia
(Ikapi) oleh 13 penerbit nasional. Jumlah anggota Ikapi itu bertambah setiap
tahun selaras dengan pertumbuhan penerbit baru. Namun belum semua penerbit
menjadi anggota Ikapi. Jumlah penerbit yang termasuk dalam Ikapi pada tahun
2005 adalah sebagai berikut.
Tabel
3
Jumlah
Penerbit di Indonesia yang termasuk dalam Ikapi 2005
NO
|
PROPINSI
|
THN
2005
|
1
|
Nanggroe
Aceh Darussalam
|
5
|
2
|
Sumatra
Utara
|
16
|
3
|
Sumatra
Barat
|
6
|
4
|
Riau
(Termasuk Kep. Riau)
|
4
|
5
|
Jambi
|
2
|
6
|
Sumatra
Selatan
|
8
|
7
|
Bengkulu
|
0
|
8
|
Lampung
|
1
|
9
|
Bangka
Belitung
|
0
|
10
|
DKI
Jakarta
|
262
|
11
|
Banten
|
1
|
12
|
Jawa
Barat
|
144
|
13
|
Jawa
Tengah
|
76
|
14
|
D.I.
Yogyakarta
|
47
|
15
|
Jawa
Timur
|
85
|
16
|
Bali
|
7
|
17
|
Nusa
Tenggara Barat
|
1
|
18
|
Nusa
Tenggara Timur
|
2
|
19
|
Kalimantan
Barat
|
6
|
20
|
Kalimantan
Tengah
|
0
|
21
|
Kalimantan
Selatan
|
1
|
22
|
Kalimantan
Timur
|
1
|
23
|
Sulawesi
Utara
|
0
|
24
|
Sulawesi
Tengah
|
0
|
25
|
Sulawesi
Selatan
|
8
|
26
|
Sulawesi
Tenggara
|
0
|
27
|
Gorontalo
|
0
|
28
|
Maluku
|
0
|
29
|
Maluku
Utara
|
0
|
30
|
Papua
|
0
|
Jumlah
|
682
|
Sumber:
Ikapi, 2005
Dibandingkan dengan sepuluh tahun
yang lalu (1995), data di atas menunjukkan kenaikan jumlah penerbit di
Indonesia sebanyak 33,7% atau 172 penerbit dalam
sepuluh tahun terakhir. Dibandingkan dengan Negara-negara lain di ASEAN, dari
segi jumlah, Indonesia memiliki penerbit yang memadai. Thailand memiliki 200
penerbit, Vietnam dengan 39 penerbit, Malaysia dengan 150 penerbit aktif dari
500 penerbit yang terdaftar, Singapura dengan 79 penerbit ( sumber data: Asean
Conference on Book Development, 1996). Sungguhpun demikian, di Indonesia
penyebaran penerbit itu tidak merata ke sluruh wilayah. Sebagian besar atau
90,7% atau 547 penerbit berada di pulau Jawa dan hanya 9,3% atau 56
penerbit di luar pulau Jawa. Di samping itu masih terdapat 14 propinsi yang
belum memiliki penerbit yang tergabung dalam Ikapi. Kurangnya penerbit di luar
pulau Jawa mengakibatkan penyebaran buku yang tidak merata dan harga buku yang
lebih mahal di luar pulau Jawa.
PERCETAKAN
Percetakan adalah badan usaha jasa
yang melakukan pencetakan naskah menjadi dalam bentuk media cetak seperti buku,
brosur, majalah dan lain sebagainya. Percetakan menerima naskah dari penerbit
dan menerbitkannya dalam tata letak dan bentuk, dan jumlah yang sesuai dengan
pesanan penerbit. Percetakan menyerahkan hasil cetakannya kepada penerbit dan
tidak bertanggung jawab atas isi bahan yang dicetak.
Dilihat dari kemampuan mencetak buku, tidak sampai 15% dari antaranya yang
memiliki peralatan lengkap untuk mencetak buku. Hal ini jelas terlihat ketika
Pemerintah melakukan desentralisasi pencetakan buku pelajaran sekolah, sejumlah
propinsi terpaksa melakukan pencetakan di luar daerahnya karena tidak memiliki
percetakan yang dapat mencetak buku dalam jumlah yang diperlukan.
Masalah-masalah yang dihadapi oleh percetakan dalam
mencetak buku antara lain ialah:
1.
Harga bahan baku kertas yang tinggi karena
Pemerintah kurang mampu mengendalikan dan menekan harga bahan baku kertas
(pulp).
2.
Kurangnya pembinaan mutu percetakan dari
instansi yang berwewenang sehingga terjadi penyalahgunaan percetakan untuk
keperluan-keperluan negatif (pembajakan, pornografi, provokasi, dlsb).
3.
Usaha percetakan buku belum menyebar di
seluruh Indonesia.
4.
Kurangnya tenaga teknis percetakan yang
ahli di bidangnya.
(Kongres Perbukuan Nasional, 1995).
Apabila dihitung
termasuk percetakan kecil seperti percetakan kartu nama dan undangan, jumlahnya
tidak kurang dari 7.000 buah. Percetakan membentuk organisasi profesi,
Persatuan Perusahaan Grafika (PPGI), yang mencatat jumlah angotanya sekitar
2.500 percetakan. Akan tetapi bila dilihat dari kemampuan mencetak buku, tidak
sampai 15% dari antaranya yang memiliki peralatan lengkap untuk mencetak buku.
Hal ini jelas terlihat ketika Pemerintah melakukan desentralisasi pencetakan
buku pelajaran sekolah, sejumlah propinsi terpaksa melakukan pencetakan di luar
daerahnya karena tidak memiliki percetakan yang dapat mencetak buku dalam
jumlah yang diperlukan. Alasan utama tidak adanya percetakan yang mampu
mencetak buku di propinsi tertentu ialah mereka jarang mendapat pesanan untuk
mencetak buku dalam jumlah banyak karena populasi daerah itu sendiri termasuk
rendah (mis. Bengkulu, Jambi, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku
Utara) dan ongkos pencetakan lebih murah kalau dilakukan di daerah lain.
DISTRIBUTOR
Pertama, dari
segi pemasaran. Pada awal tahun 2000-an, masalah pemasaran terutama karena
banyak penerbit tidak dapat menembus ke toko buku secara langsung. Hal ini
sedikitnya disebabkan dua alasan, yakni minimnya sumber daya dan proses
administrasi yang rumit. Kebanyakan rumah produksi hanya berskala kecil bahkan
masih tergolong baru di dunia penerbitan sehingga kapasitas sumber dayanya pun
terbatas. Sejalan dengan itu, ada banyak aturan baru (berupa restriksi) yang
menyebabkan penerbit, tidak mudah menembus pasaran toko buku. Sementara,
jaringan toko besar, semisal Gramedia pun seringkali menyarankan kepada
penerbit buku, terutama yang masih baru, untuk melalui penyalur (distributor)
saja, sambil mengantisipasi adanya oknum penerbit yang tidak konsisten dalam
mengatur terbitannya, karena dianggap sangat mengganggu dalam manajemen toko modern
semacam Gramedia. Karenanya, pada pasca produksi, langkah praktis pemasaran
dengan menitipkan ke distributor menjadi mekanisme yang berlangsung hingga
sekarang.
Kedua,
problematika dalam industri buku yaitu tiga aktor utama dalam system pemasaran
yang meliputi penerbit, distributor dan toko buku ini, telah menciptakan
perputaran yang mengakibatkan adanya penambahan nilai jual, yang kemudian mulai
dirasakan mahal oleh konsumen. Dalam mekanisme ini, ada konsekuensi rabat yang
berlaku dan cukup dilematis utamanya terhadap penerbit buku. Jejaring ini
umumnya menyepakati penggunaan sistem konsinyasi (titip jual) dengan kisaran
mencapai 50 – 55%. Penjelasannya, jumlah diskon tersebut adalah hasil
presentasi yang telah memperhitungkan royalti penulis, biaya dan laba penerbit,
serta keuntungan untuk toko buku dan distributornya. Jadi, dapat dibayangkan
jika harga buku tidak dinaikkan maka sudah pasti penerbit akan pingsan. Apalagi
jika biaya bahan baku produksi (seperti kertas dan tinta) turut berfluktuasi
dimana penerbitlah yang harus menanggung seluruhnya, maka masa depan usaha
penerbitan akan semakin terpuruk. Berfluktuasinya harga buku demikian menjadi
jelas, yang tidak lain sangat dipengaruhi oleh jejaring pemasaran yang terpola
secara konvensional. Sangat sulit memutus rantai jaringan tersebut sebab pola
pemasaran ini sudah berlaku secara umum diantara ketiga aktor industri
perbukuan. Tidak ada satu pihak yang bisa disalahkan untuk kondisi tersebut,
karena jejaring ini kompleks, sementara penerbit sendiri tidak berdaya untuk
menembus toko buku secara langsung.
MASYARAKAT PEMBACA
Pemakai buku atau
sering juga disebut masyarakat pembaca adalah semua orang yang sudah memiliki
kemampuan membaca serta membutuhkan bahan bacaan. Mereka ini termasuk siswa,
mahasiswa, guru, dosen, pegawai serta masyarakat umum yang memerlukan buku
sebagai bahan bacaan.
Akan tetapi di kalangan masyarakat Indonesia, minat
dan kegemaran membaca masih rendah. Kebanyakan masyarakat belum menggunakan
waktu senggang untuk membaca. Masih jarang terlihat orang memanfaatkan waktunya
untuk membaca.
Masih rendahnya minat dan kegemaran membaca di
kalangan masyarakat umum dan juga di kalangan siswa dan mahasiswa di Indonesia
memang harus diakui. Keadaan ini dipengaruhi antara lain oleh budaya lisan yang
diwarisi sejak lama. Pada umumnya masyarakat Indonesia lebih terbiasa
menyampaikan informasi secara verbal/katawi dari pada dalam bentuk tulisan
sehingga lebih terbiasa mendengar daripada membaca.
ANALISIS
PENCIPTA
IDE
Masalah perbukuan di indonesia yang
terjadi pada aspek pencipta ide biasanya terjadi karena para pencipta ide
(termasuk didalamnya penulis, penerjemah, dan penyadur naskah) buku dalam dunia
pendidikan lebih banyak daripada untuk khalayak/masyarakat luas. Hal ini karena
dunia pendidikan lebih menjanjikan komersil dibandingkan buku universal
(seperti novel,buku fiksi, dsb) yang dianggap kurang menghasilkan
komersil(uang) jika jarang ada peminatnya. Akibatnya bisa kita rasakan bahwa
pasar industri buku di Indonesia cukup banyak dikuasai oleh buku pendidikan.
Oleh karena itu maka peminat masyarakat Indonesia untuk memabaca buku akan
semakin berkurang. Ini semua tidak bisa kita salahkan kepada pemerintah. Jika
ingin industri buku di Indonesia maju, maka seharusnya pencipta ide/penulis
buku haruslah sama rata/seimbang, antara buku untuk dunia pendidikan dan buku
untuk khalayak luas (universal).
PENERBIT
Rata-rata penerbit yang ada di Indonesia itu terletak/terpusat
didaerah kota-kota besar yang ada di Indonesia (contohnya pulau Jawa). Sangat banyak
penerbit yang berada di kota-kota tersebut membuat proses pendistribusian buku
untuk daerah-daerah terpencil menjadi agak sulit. Faktor pemerataan ekonomipun
berpengaruh terhadap salah satu masalah yang terjadi terhadap industri buku di
Indonesia ini. Karena kita tahu,bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Jika
penerbit buku hanya berada di pusat-pusat kota besar saja, maka dampak dari
masalah ini ialah akan semakin sulit masyarakat-masyarakat yang berada di
kota-kota kecil untuk memperoleh kesempatan membaca buku dan semakin sulit pula
mereka memperoleh ilmu atau pengetahuan baru dari sebuah buku. Karena kita tahu
bahwa buku adalah sebagai salah satu sumber pengetahuan dan sumber media
informasi. Dan juga jika penerbit hanya berada dikota-kota besar, ongkos
produksipun akan semakin mahal. Karena proses pendistribusian itu sendiri
membutuhkan biaya yang tidaklah sedikit. Dampaknya harga jual sebuah bukupun
akan menjadi lebih mahal. Maka seharusnyalah pemerintah mecoba untuk menata
kembali terhadap undang-undang(peraturan) peridnstrian buku yang ada di
Indonesia. Contoh mudahnya saja, dengan membuat peraturan tentang pembatasan
jumlah maksimal perusahaan penerbitan yang ada di kota-kota besar. Dengan
begitu oyngkos produksi bisa ditekan dan harga buku menjadi lebih ekonomis
untuk masyrakat luas. Memang masalah ini tidaklah mudah untuk diselesaikan,
karena cukup kompleks. Tetapi secara perlahan-lahan nampaknya kita dapat
memecahkan masalah tersebut.
PERCETAKAN
Terlalu banyak faktor yang bisa kita sebutkan dalam hal masalah
percetakan ini. Namun bisa kita pahami, bahwa secara garis besar
kebijakan-kebijakan dari pemerintah ataupun pihak yang berwenang dalam hal ini
bisa dikatakan menjadi penyebab/faktor utama yang menyebabkan masalah
percetakan terjadi. Dari mulai ketidakmampuan pemerintah untuk mengontrol harga
bahan baku kertas, kebijakan untuk men-desentralisasi pencetakan buku sekolah,
kurangnya pembinaan mutu terhadap usaha percetakan, dsb. Akibatnya banyak dari
masyarakat luas (termasuk sekolah) yang harus pergi kedaerah lain (kota-kota
besar) untuk hanya sekedar mencetak tulisan mereka. Banyak juga usaha-usaha
percetakan yang menyalahgunakan usaha mereka untuk melakukan sesuatu yang
ilegal (pembajakan, pornografi, dsb). Pemerintah berandil besar dalam hal ini,
seharusnya pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang akan mempermudah usaha
percetakan di Indonesia, sehingga dengan begitu perindustrian buku di Indonesia
akan menjadi semakin lebih maju dari sebelumnya.
DISTRIBUTOR
Bisa dikatakan
masalah dalam faktor distributor ini sangtlah kompleks. Mengapa begitu?karena
umumnya atau rata-rata penerbit yang telah mencetak produksi buku mereka tidak
bisa dengan mudah langsung mendistribusikan atau menaruh begitu saja hasil buku
mereka kedalam toko-toko yang ada seperti Gramedia, Gunung agung dsb. Karena
sistem yang sudah ada mengharuskan mereka untuk menyalurkan buku mereka
terlebih dahulu kepada distributor yang telah ada. Akibatnya dengan melalui
sistem tersebut maka harga buku yang dijual menjadi semakin mahal saja. Dan
berdampak kurangnya minat pembeli untuk membeli buku tersebut. Apa solusinya?
Tampaknya lagi-lagi pemerintah harus menjadi pihak yang disalahkan. Bukan
bermaksud untuk menjadikan pemerintah kambing hitam, namun seharusnya
pemerintah membuat suatu kebijakan yang menyeluruh untuk maslaah ini. Dari
mulai kebijakan untuk proses penerbitan, lalu percetakan, hingga kedalam proses
pendistribusian yang ada di Indonesia. Secara perlahan tampaknya masalah
tersebut akan teratasi.
MASYARAKAT
PEMBACA
Nampaknya minat masyarakat pembaca di Indonesia sangatlah kurang.
Jarang kita lihat bahwa masyarakat memanfaatkan waktu luangnya untuk membaca
sebuah buku. Masalah minat ini tidaklah gampang untuk diselesaikan. Karena
minat yang ada tergantung/kembali kepada diri kita sendiri masing-masing.
Dampaknya bahwa masyrakat Indonesia, bisa dikatakan akan terus menjadi negara
berkembang. Karena jika ingin menjadi sebuah negara maju, haruslah memiliki
masyarakat yang gemar membaca seperti negara-negara adidaya (Amerika, Inggris,
Prancis, dll). Seharusnya kita merubah budaya “malas baca” ini secara
perlahan-lahan. Memang tidak mudah, namun jika dilakukan terus-menerus untuk
menanamkan rajin membaca kepada generasi yang akan datang, tampaknya budaya
tersebut akan bisa dihapuskan di Indonesia. Sehingga industri buku Indonesia
akan kembali bergeliat lagi.
BAB III
Simpulan
KESIMPULAN
Kesimpulannya
bahwa Perindustrian Buku di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat
dan cepat bahkan dengan perkembangan tersebut juga dapat memungkinkan perbukuan
di Indonesia menurun karena munculnya era digital. Akan tetapi, perindustrian
buku di Indonesia masih dapat hidup tanpa harus mematikan buku dalam era
digital.
SARAN
Ditengah
problematika perbukuan di Indonesia, maka untuk dapat tetap mempertahankan dan
mengembangkan kembali perbukuan maka hal yang harus dilakukan adalah: Pertama, industri buku masih perlu
introspeksi. Untuk mempertahankan dan dapat mengembangkan kembali perbukuan
maka perlu adanya introspeksi, baik dari penerbit yang dapat menjawab tantangan
untuk menemukan solusi terhadap kurangnya minat baca pada masyarakat. Hal ini
dapat dilakukan misalnya dengan cara mengadakan seminar yang membicarakan
tentang perbukuan isinya membedah beberapa buku, hingga pada memberikan
penyuluhan dan pemahaman kepada masyarakat untuk membeli buku di toko buku
ketimbang membeli pulsa untuk internetan. Karena bagaimanapun juga buku yang
ada di toko buku memiliki bahasan yang lengkap dalam satu bukunya.
Kedua,mampu
menyaingi era digital. Artinya tahun ini telah berkembangnya era atau zaman
digital. Ditengah perkembangan digital yang begitu pesat, maka memungkinkan
timbulnya zaman atau era buku digital yang dikenal dengan istilah e-book. Oleh karena itu, hendaknya
perbukuan di Indonesia harus mampu bersaing dengan era digital tanpa harus
mematikan era digital.
DAFTAR PUSTAKA
Sitepu, B.P,
(2006). Penyusunan Buku Pelajaran. Jakarta:Verbum Publishing
PERTANYAAN
1.
Muhammad
Reza Abas : Mengapa buku dikatakan
dengan memiliki keterbatasan “membatasi kreativitas”?
2.
Febri
Priansyah : Letak
keterbatasan buku “membatasi kreativitas” terdapat pada pengarang atau pembaca?
Jawab
:
1.
Dalam
pembahasan kelompok kami, disini kami membahas buku pelajaran. Karena dalam
prakteknya buku pelajaran sudah tersusun dan terstruktur dalam hal bahan ajar.
Sehingga dalam penerapan dikelas guru akan merasa kesulitan dalam menerapkan
metode pembelajaran dikarenakan semua bahan ajar sudah ada dalam buku dan para
peserta didik dapat mendapatkan informasi hanya dengan membaca buku.
Dari
segi pengarang buku pelajaran juga dapat terbatasi kreativitasnya dikarenakan
dalam penyusunan buku pelajaran harus mengikuti kurikulum yang berlaku.
2.
Menurut
kelompok kami terdapat pada keduanya. Seperti yang sudah dijelaskan tadi bahwa
dari segi pengarang harus mengikuti kurikulum yang berlaku sehingga penyusun
buku teks tidak bisa mengembangkannya. Dan dari segi pembaca seperti guru akan
sulit dalam menentukan metode pembelajaran apa yang akan diterapkan dikelas.