Sabtu, 21 September 2013

INDUSTRI BUKU DI INDONESIA

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR CETAK
Dosen : Prof. Bintang P Sitepu


Disusun oleh :
Adi Milano Putra                                         1215115150

Muhammad Candra Munandar              1215116017

Satrio Budi Rahardjo                                1215115143

Wahyudi Seto Aji                                        1215115144

JURUSAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
TAHUN 2013





Bab I
Pendahuluan
A.   Latar belakang
Buku merupakan salah satu sumber media belajar yang dari dahulu kala hingga saat ini masih menjadi sumber utama bagi manusia dalam membantu proses pembelajaran.  Buku dapat diartikan adalah sekumpulan kertas atau bahan lainnya yang dijilid menjadi satu pada salah satu ujungnya dan berisi tulisan atau gambar. Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia (1998, hal 152) buku berarti lembar kertas yang berjilid, berisi tulisan atau kosong. Sedangkan menurut Ensklopedi Indonesia (1980, hal 538) memberikan pengertian buku secara lebih luas dengan menyebutkan bahwa dalam arti luas buku mencakup semua tulisan dan gambar yang ditulis dan dilukis atas segala macam lembaran papirus, lantar, perkamen dan kertas dengan segala bentuknya: berupa gulungan, dilubangi dan diikat dengan atau dijilid muka belakangnya dengan kulit, kain, karton dan kayu.  Pengertian EI ini lebih luas dari yang diberikan oleh atau dalam KBBI.
Lalu para ahli juga memberikan pengertian-pengertian mereka terhadap arti dari buku itu sendiri. H.G. Andriese dkk secara sederhana menyebutkan buku merupakan “informasi tercetak diatas kertas yang dijilid menjadi satu kesatuan”. Lalu salah satu organisasi dari  PBB , yaitu UNESCO pada tahun 1964, dalam H.G. Andriese dkk. memberikan pengertian buku sebagai “Publikasi tercetak, bukan berkala, yang disedikitnya sebanyak 48 halaman”. Semua pengertian diatas tadi memiliki perbedaan antara rumusan satu dengan yang lainnya. Jika menurut pengertian dari KBBI bahwa bahan buku itu adalah kertas yang disusun dalam bentuk jilidan serta berisi tulisan atau kosong. Atas dasar ini maka jika buku terbuat bukan dari bahan kertas maka menurutu KBBI itu bukanlah sebuah buku. Sedangkan menurut Ensiklopedi Indonesia (EI) pengertian buku itu sendiri menjadi lebih luas. Dalam EI mengatakan bahwa buku tidak hanya terbuat (terbatas) dari kertas semata tetapi juga dari bahan lain seperti papirus, lontar, dan perkamen.
Lalu pengertian buku menurut H.G. Andriese dkk. lebih memberikan ciri buku itu sendiri sebagai kumpulan kertas tercetak dan terjilid tanpa batasan jumlah halaman. Namun dalam pengertian ini juga mengatakan bahwa buku terdiri dari bahan kertas seperti definisi dalam KBBI. Kemudian pengertian menurut UNESCO lebih memperhatikan aspek  dari terbitannya dan pada batasan halaman tertentu (yaitu berjumlah 48 halaman). Jika jumlah halaman kurang dari 48 halaman, maka UNESCO menyebutnya sebagai “brosur”. Namun dalam kenyataanya jumlah halaman tidak dijadikan petunjuk atau acuan dalam mengenali sebuah buku.
Dari keempat pengertian tersebut dapat disepakati bahwa buku pada umumnya sekumpulan kertas yamg terjilid tanpa pembatasan ukuran (tinggi dan lebar) dan jumlah halaman yang maksimal.
B.   MASALAH
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang sangat membutuhkan buku sebagai salah satu sumber informasi untuk belajar dan proses pembelajaran. Dalam dunia pendidikan buku merupakan salah satu tonggak utama terjadinya proses pembelajaran.
Berbicara tentang perbukuan, tentunya ada beberapa unsur yang harus dibahas yakni pencipta ide, penerbit, percetakan, penyaluran dan masyarakat pembaca. Kelima pilar tersebut berdiri sama tegak dan sejajar  serta saling bersinergi dalam menumbuhkembangkan industri buku. Masalah-masalah perbukuan yang muncul di Indonesia tergantung kepada kelima pilar tersebut. Apabila pilar-pilar tersebut berjalan sesuai dengan fungsinya dan profesional maka akan berdampak positif bagi industri buku di Indonesia.
Berdasarkan Kongres Perbukuan Nasional (KPN), Indonesia menempati posisi terakhir di Asean setelah Philipina dan yang teratas adalah Singapura. Data ini masih membuktikan bahwa perbukuan di Indonesia masih belum memiliki taring. Mengapa hal in bisa terjadi  ? kembali lagi kepada 5 pilar tadi.
Permasalahan perbukuan di Indonesia harus patut dicermati, dalam hal ini pemerintah memiliki peranan penting karena pemerintahlah yang membuat kebijakan-kebijakan tentang perbukuan. Dan kebijakan yang selama ini dikeluarkan pemerintah hanya menambah monopoli perbukuan oleh penerbit tertentu saja. Seandainya pemerintah mampu bertindak tegas maka permasalah terhadap perbukuan nasional dapat ditanggulangi.
Kualitas buku yang beredar masih belum memberikan pencerahan kepada masyarakat dan penyaluran ke berbagai daerah yang masih bermasalah serta yang paling penting adalah daya beli masyarakat Indonesia. Daya beli ini dipengaruhi oleh minat baca masyarakat yang masih rendah. Serta permasalahan plagiat yang semakin meningkat.
Inilah permasalahan perbukuan yang ada. Begitu banyak unsur yang terlibat, dan untuk memperbaiki sistem yang sudah menjadi akar di Indonesia maka rakyat Indonesia perlu kerja keras dan semangat dalam memberikan yang terbaik untuk negeri tercinta Indonesia.
C.    Rincian Masalah
1.      Bagaimana perkembangan buku di Indonesia?
2.      Apa saja keunggulan, keterbatasan, fungsi dan jenis buku?
3.      Apa saja fondasi dasar (pilar) perbukuan di Indonesia?
4.      Analisis mengenai permasalahan perbukuan di Indonesia?
D.    Tujuan
Setelah mempelajari pembahasan ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan keunggulan, keterbatasan, fungsi dan jenis buku. Namun sebelumnya mahasiswa harus mengetahui perkembangan buku di Indonesia. Sehingga mahasiswa dapat mengetahui pilar perbukuan di Indonesia dan dapat menganalisis permasalahan dalam hal perbukuan yang terjadi di Indonesia.
E.     Rujukan
Pembahasan kelompok kami ini dirujuk dari sebuah buku yang berjudul “Penyusunan Buku Pelajaran” yang ditulis oleh Prof. Dr. B.P. Sitepu, M.A. pada tahun 2006 dan pembahasan yang lainnya bersumber dari internet. 
 
 
BAB II
Pembahasan
Perkembangan buku
Perkembangan buku yang merupakan awalnya berasal dari negara-negara maju sebagai salah satu media komunikasi bagi manusia, lalu menjalar ke negara-negara berkembang (salah satunya Indonesia) yang kemudian dalam perkembangannya menjadi sebuah media (alat bantu) dalam pembelajaran. Selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka semakin mudahlah manusia dapat mencetak sebuah buku. Dan itu juga menjadikan buku lebih mudah dalam proses penyebaran kedalam negera-negara berkembang salah satunya Indonesia.
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang masih mengandalkan buku sebagai salah satu media konvensional dalam proses penyampain informasi atau juga sebagai media cetak, termasuk juga untuk keperluan pendidikan (pembelajaran). Hal ini terlihat pada lembaga-lembaga pendidikan yang masih banyak menggunakan buku sebagai sumber belajar utama daripada media lainnya. Pemenuhan kebutuhan buku suatu negara itu tergantung pada kemampuan industri buku  negara itu sendiri, termasuk Indonesia.
Perkembangan industri perbukuan di Indonesia, menurut Prof. Dr. B.P. Sitepu, M.A. dapat dilihat dari pilar-pilar Industri buku itu sendiri, seperti pengarang, penerbit, percetakan, penyalur (distributor), dan masyarakat pembaca.
Keunggulan Buku
            Dibandingkan dengan media pembelajaran lainnya, buku memiliki keunggulan yang dapat dikategorikan dalam isi,pemanfaatan, dan harga buku.
1.      Isi Buku
a.       Sesuai untuk semua jenis informasi atau kajian.
b.      Informasi dapat disajikan dalam berbagai bentuk.
2.      Pemanfaatan Buku
a.       Waktu dan tempat belajar dapat disesuaikan.
Buku dapat dibaca dan dipelajari tanpa batas waktu dan tempat, kapan saja dan dimana saja dikehendaki asalkan terdapat pencahayaan yang cukup.
b.      Belajar sesuai dengan kemampuan.
Informasi dapat dipelajari sesuai dengan kecepatan membaca dan memahami informasi di dalam buku. Untuk memudahkan pemahaman, buku dapat pula diberi tanda atau di beri catatan-catatan tambahan.
c.       Mengulangi dan meninjau kembali
Untuk meningkatkan pemahaman, pembaca dapat membaca berulang-ulang bagian-bagian yang menurutnya sulit, sampai memahami maknanya. Siswa dapat pula membandingkan informasi tentang hal yang sejenis dari buku yang berbeda atau dari sumber informasi lain.
d.      Bahan ajar serta tugas-tugas yang siap pakai
Buku pelajaran yang baik berisi informasi yang lengkap tentang bahan ajar dan disertai dengan tugas, latihan, dan soal-soal.
e.       Sumber informasi yang efisien.
Buku dapat dimanfaatkan oleh banyak pemakai dan dapat dipindahkan dari seorang pemakai kepada pemakai lain. Walaupun berkali-kali dibaca dan dipelajari banyak orang, isi buku tidak akan berubah. Dalam kaitannya dengan pemerataan untuk memperoleh kesempatan untuk belajar, buku merupakan media pembelajaran yang dapat menjangkau dan memberikan kesempatan yang sama kepada banyak anak.
f.       Tidak memiliki ketergantungan pada sumber daya.
Tidak seperti media elektronik lainnya, buku dapat dimanfaatkan tanpa ketergantungan pada sumber daya seperti tenaga listrik atau baterai. Dengan demikian buku dapat dibaca dan dipelajari di tempat-tempat yang belum terjangkau listrik.
3.      Harga Buku
a.       Harga buku relative murah
Bahan buku terbuat dari kertas dan biaya percetakannya relative murah. Semakin banyak buku dicetak maka harganya semakin murah.
b.      Dapat disesuaikan dengan kemampuan daya beli.
Agar dapat dijangkau oleh kebanyakan lapisan masyarakat, bahan buku dapat pula dipilih dari kertas Koran yang harganya lebih murah. Contohnya di Cina, pada umumnya buku-buku pelajaran dicetak diatas kertas Koran. Perbedaan mutu dan jenis kertas untuk buku pada hakikatnya tidak terlalu mempengaruhi mutu informasi yang ada di dalamnya. Oleh karena itu buku-buku tertentu diterbitkan dalam dua edisi, edisi hard cover untuk sasaran khusus, dan edisi soft cover/paper back untuk sasaran yang umum/luas.
Keterbatasan Buku
1.      Tidak dapat memenuhi kebutuhan semua siswa di semua tempat dan semua waktu.
Setiap siswa memiliki kemampuan, ciri, serta kebutuhan yang berbeda-beda. Perbedaan itu terjadi karena perbedaan pengalaman belajar, budaya, atau geografis. Sehingga penyeragaman buku pelajaran untuk siswa kurang efektif sebagai sumber belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran yang standar. Pada umumnya, isi buku tidak dapat serta merta mengikuti perkembangan informasi yang actual karena proses revisi dan penerbitannya memerlukan waktu yang relative lama.
2.      Cenderung monolog
Informasi datang dari saatu puhak saja (pengarang buku) dan sulit dapat dilakukan komunikasi interaktif yang bersifat langsung.
3.      Membatasi kreatifitas
Struktur dan urutan bahan belajar dalam buku dapat mengurangi kreatifitas guru dalam memilih bahan ajar dan metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa dan lingkungan pembelajaran.
4.      Keterbatasan daya fisik buku
Buku dibuat dari kertas yang memiliki daya tahan terbatas. Mudah robek dan rusak apabila terkena air atau kelembaban udara. Warna kertas juga dapat berubah menjadi kuning sehingga kurang nyaman dibaca.
Fungsi Buku
Buku pada umumnya dan buku pelajaran pada khususnya berfungsi sebagaisalah satu sumber informasi untuk :
1.      Memperluas wawasan.
2.      Memberikan pengetahuan baru.
3.      Memperdalam pengetahuan sebelumnya.
4.      Memberikan inspirasi baru, dan
5.      Mendorong untuk mengembangkan pengetahuan yang sudah dimiliki.
Jenis Buku
            Berdasarkan penggunaannya di sekolah, Direktorat Jenderal Pendidikan dasar dan Menengah (berdasarkan keputusan direktur Jenderal Pendidikan dasar dan menengah No. 262/C/Kep/R.1992), menggolongkan buku ke dalam empat jenis.
1.      Buku Pelajaran Pokok
(Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.11 Tahun 2005) dengan definisi :
Buku pelajaran adalah buku acuan wajib untuk digunakan di sekolah yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan dan katakwaan, budi pakerti, dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis, potensi fisik dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan.
2.      Buku Pelajaran Pelengkap
Buku pelajaran pelengkap atau buku pengayaan adalah buku pelajaran yang melengkapi isi buku pelajaran pokok. Buku pelajaran pelengkap dimaksud untuk memperkaya, memperluas dan memperdalam pengetahuan peserta didik dan mendukung isi kurikulum yang berlaku.
3.      Buku Bacaan
Buku bacaan adalah buku yang digunakan sebagai penambah pengetahuan atau pengalaman atau juga sebagai hiburan, yang menurut jenisnya dapat dibedakan menjadi buku bacaan fiksi dan non fiksi. Perbedaannya dengan buku pelajaran pelengkap terlihat pada bahasa, bentuk, dan sistematika penyajiannya.
4.      Buku Sumber
Buku sumber berfungsi sebagai rujukan resmi atas suatu masalah dan kebenaran informasinya dianggap terjamin dan diakui. Contohnya kamus, atlas, ensiklopedia.
Dilihat dari sasarannya buku dapat juga dikelompokkan ke dalam a) buku siswa, b) buku guru, dan c) buku guru dan siswa. Buku siswa adalah buku pelajaran yang disusun khusus untuk keperluan dan pegangan siswa dalam proses belajar. Buku guru adalah buku yang khusus disusun untuk keperluan dan pedoman guru dalam membelajarkan siswa dalam mata pelajaran tertentu. Sedangkan buku guru dan siswa adalah buku yang dijadikan sumber informasi oleh siswa dan guru dalam proses belajardan membelajarkan.
Penggolongan buku seperti ini menunjukan bahwa buku dapat digolongkan secara berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan.
Pilar Perbukuan
Dalam pelaksanaannya buku membutuhkan beberapa lembaga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yaitu: (1) pencipta ide/gagasan, (2) penerbit, (3) percetakan, (4) penyalur/distributor, dan (5) masyarakat pembaca. Kelima unsur itu saling berkaitan satu sama lain dan tidak dapat berkembang sendiri-sendiri sehingga disebut juga sebagai pilar industri buku. Seorang pengarang, yang memiliki karya pasti akan membutuhkan penerbit dimana penerbit tersebut akan menerbitkan naskah dalam bentuk cetak, kemudian di cetak oleh percetakan dan disebarluaskan melalui distributor sampai kepada masyarakat pembaca. Dengan demikian masing-masing komponen itu saling membutuhkan satu sama lain agar dapat hidup dan berkembang.
Setiap buku memiliki pengarang, penerbit, pencetak, penyalur/distributor dan pembaca/pemakainya. Semakin maju industri buku semakin profesional penanganan masing-masing pilar itu. Oleh karena itu masalah-masalah perbukuan atau maju mundurnya industri buku pada umumnya berkaitan dengan kelima pilar tersebut. Jumlah, jenis, mutu, serta penyebaran buku di Indonesia tidak terpisah dari keadaan lima pilar perbukuan di negeri ini.
. Buku dalam perkembangannya dan dapat diminati oleh masyarakat Indonesia memerlukan proses yang cukup panjang. Hal inilah yang menjadi problematika dalam industri buku di Indonesia yang meliputi : 
PENCIPTAAN IDE
Pencipta ide adalah orang yang melahirkan gagasan yang kemudian dituliskan menjadi isi sebuah buku. Yang termasuk ke dalam pilar ini ialah pengarang/penulis, penerjemah, dan penyadur naskah. Pengarang adalah orang yang melahirkan dan menuliskan gagasan atau pikirannya dalam bentuk naskah. Sedangkan penulis diartikan sebagai orang yang menuliskan suatu gagasan yang mungkin asli atau tidak asli dari hasil pikirannya sendiri.
Dalam hal ini jenis buku yang paling banyak dihasilkan adalah untuk keperluan sekolah atau buku pelajaran, baru kemudian buku perguruan tinggi yang jumlahnya sama dengan buku agama. Keadaan ini menunjukkan bahwa penulis/pengarang, penerjemah, serta penerbit menganggap bahwa lembaga-lembaga pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi) masih merupakan pasar/sasaran utama. Data ini juga memberikan indikasi, kebanyakan penulis/pengarang dan penerjemah buku pada umumnya masih berasal dari kalangan guru, dosen, dan ilmuan lainnya.
Dalam kurun lima tahun (1999 -2003) jumlah rata-rata judul buku baru yang diterbitkan setiap tahun sekitar 6000 judul (termasuk terjemahan). Jumlah ini lebih kecil dibandingkan dengan jumlah judul buku baru yang diterbitkan di Malaysia (+ 8.500 judul),  Korea (+ 45.000 judul), Jepang (+60.000 judul), dan Amerika  (+ 90.000 judul). Rendahnya produksi buku di Indonesia tidak terlepas dari kurangnya naskah yang dihasilkan oleh penulis/pengarang, penerjemah, dan penyadur.
Dilihat dari jenisnya, buku-buku yang diterbitkan itu dapat digolongkan sebagai berikut:
Tabel 1
Persentase buku yang diterbitkan dilihat dari jenisnya
NO
JENIS BUKU
JUMLAH
1
Buku Sekolah
65 %
2
Buku Perguruan Tinggi
15 %
3
Buku Agama
15 %
4
Buku Lainnya
5 %
Sumber: Kongres Perbukuan Nasional I, 1995
Sungguhpun data yang diacu bersumber dari dokumen Kongres Perbukuan tahun 1995, nampaknya komposisi jenis buku itu belum banyak berubah sampai dengan tahun 2003. Komposisi jenis buku yang diterbitkan itu menunjukkan bahwa jenis buku yang paling banyak dihasilkan adalah untuk keperluan sekolah atau buku pelajaran, baru kemudian buku perguruan tinggi yang jumlahnya sama dengan buku agama. Keadaan ini menunjukkan bahwa penulis/pengarang, penerjemah, serta penerbit menganggap bahwa lembaga-lembaga pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi) masih merupakan pasar/sasaran utama. Data ini juga memberikan indikasi, kebanyakan penulis/pengarang dan penerjemah buku pada umumnya masih berasal dari kalangan guru, dosen, dan ilmuan lainnya.
Penulis/pengarang, penerjemah dan penyadur merupakan unsur pertama dan terutama dalam menghasilkan naskah buku. Mereka memiliki ide/gagasan yang merupakan produk intelektual yang akan dituangkan dalam bentuk naskah. Oleh karena itu kreativitas mereka itu mempengaruhi secara langsung jumlah dan mutu buku yang diterbitkan. Semakin banyak jumlahnya, diharapkan semakin banyak pula jumlah buku yang dihasilkan. Semakin tinggi mutu mereka, diharapkan semakin bermutu pula buku yang dihasilkan. Keadaan yang sebaliknya pun akan terjadi pula, karena jumlah dan mutu penulis/pengarang, penerjemah dan penyadur  berpengaruh kuat terhadap jumlah dan mutu buku yang diterbitkan.
Dalam jenis-jenis profesi yang tertera dalam buku Statistik Indonesia yang diterbitkan oleh Biro Pusat Statistik,  penulis/pengarang, penerjemah dan penyadur  belum dijadikan sebagai suatu profesi tersendiri. Hal ini terjadi, mungkin karena di Indonesia pekerjaan menulis/mengarang, menerjemahkan, serta menyadur belum dianggap sebagai suatu profesi tersendiri. Sungguhpun pekerjaan itu dilakukan, tetapi bukan sebagai pekerjaan pokok, karena  jarang orang dapat hidup semata-mata dari penghasilan sebagai pengarang. Wartawan memang melakukan banyak kegiatan  menulis, akan tetapi profesi wartawan berbeda dengan penulis/pengarang buku. Kegiatan wartawan lebih banyak mengumpulkan dan menuliskan berita, bukan menciptakan ide atau gagasan.
Sungguhpun terdapat orang yang hidup dari pekerjaan menulis, jumlahnya tidak banyak. Kebanyakan penulis/pengarang di Indonesia mempunyai profesi utama lain di antaranya sebagai tenaga kependidikan (guru dan dosen) atau  praktisi dengan  keahlian khusus. Kelompok ini sebenarnya sangat potensial untuk menulis, mengarang, menerjemahkan dan menyadur naskah. Namun sayembara menulis naskah buku di kalangan guru SD,SLTP, dan SLTA yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Nasional sejak tahun 1988 – 2004 menunjukkan bahwa tidak sampai 2 % dari jumlah semua guru di Indonesia yang mengikuti sayembara itu setiap tahunnya. Dari laporan penyelenggaraan sayembara ini diduga bahwa sungguhpun kebanyakan guru menguasai bidang studi serta memiliki pengalaman membelajarkan dengan menggunakan berbagai metode, masih sedikit guru yang menguasi teknik menulis naskah buku pelajaran. Dugaan ini juga diperkuat oleh kelemahan-kelemahan penulisan naskah dalam sayembara itu. Keadaan ini dapat dimaklumi karena di lembaga pendidikan tenaga kependidikan, calon guru pada umumnya tidak mempelajari secara khusus teknik penulisan naskah buku pelajaran.
Sungguhpun penulis/pengarang belum dinyatakan sebagai profesi tersendiri, terdapat juga organisasi profesi di Indonesia seperti, Himpunan Pengarang Indonesia “Aksara”, Ikatan Pengarang Indonesia (Ipindo), Wanita Penulis Indonesia (WPI), dan Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI), Jumlah anggota masing-masing organisasi adalah sebagai berikut.
Tabel 2
Jumlah anggota organisasi profesi pengarang/penulis dan penerjemah
NO
NAMA ORGANISASI
JMLANG
1
Himpunan Pengarang Indonesia “AKSARA”
120
2
Ikatan Pengarang Indonesia (IPINDO)
116
3
Wanita Penulis Indonesia (WPI)
69
4
Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI)
64
Catatan:  Jumlah anggota masing-masing organisasi  diperoleh secara lisan dari ketua masing-masing organisasi , 2003. Tidak ada data resmi secara tertulis dan terdapat beberapa pengarang/penulis termasuk anggota lebih dari satu organisasi.
Di samping keakuratan data dalam tabel di atas masih  diragukan karena registrasi dan verifikasi anggota masing-masing organisasi tidak dilakukan secara teratur dan tertib, jumlah anggota masing-masing organisasi di atas tidak mencerminkan jumlah keseluruhan, karena terdapat juga kenyataan, seorang pengarang menjadi anggota lebih dari satu organisasi. Misalnya, ada anggota WPI  yang juga menjadi anggota AKSARA pada waktu yang bersamaan.
Di samping ketiga organisasi tersebut di atas terdapat juga organisasi lain seperti Forum Sastra Wanita “Tamening” di Sumatra Barat dan beberapa himpunan penulis di daerah seperti di Jogyakarta, Bandung, dan Bengkulu. Akan tetapi jumlah angotanya tidak diketahui secara pasti. Dalam pada itu ada juga organisasi penulis yang mati seperti Persatuan Penulis Republik Indonesia (Peperindo). Walaupun masih ada sejumlah penulis/pengarang, penerjemah, dan penyadur yang tidak termasuk ke dalam salah satu organisasi di atas, data yang dikemukakan menunjukkan sangat kurangnya jumlahnya dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang sudah melebihi 220 juta orang.
PENERBIT
Penerbit menurut Prof. Dr. B.P. Sitepu, M.A. dalam bukunya yang berjudul Penyusunan Buku Pelajaran, adalah badan usaha yang berfungsi untuk menerbitkan naskah dalam bentuk cetakan (media cetak). Dalam melaksankan fungsinya itu penerbit:
1.      memperoleh naskah dari pengarang/penulis, penerjemah, dan penyadur;
2.      mempertimbangkan kelayakan penerbitan naskah;
3.      mengedit naskah dari segi bahasa dan ilustrasi;
4.      membuat rancangan/desain penerbitan naskah;
5.      menyerahkan naskah siap cetak kepada percetakan;
6.      menerima hasil cetakan dari percetakan; dan
7.      mendistribusikan/menyalurkan buku itu ke penjual buku.
Dalam zaman kemerdekaan Indonesia, usaha penerbitan berkembang lebih cepat walaupun pengelolaannya belum benar-benar profesional serta masih terpusat di pulau Jawa. Jumlah, kualitas dan penyebaran penerbit itu mempengaruhi jumlah dan mutu buku yang dihasilkan. Kurang menyebarnya tempat penerbit serta jaringan pemasarannya yang pada umumnya berpusat di kota-kota besar mengakibatkan  di sejumlah wilayah dan desa masih sulit memperoleh buku, termasuk buku pelajaran.
Sebagai wadah berorganisasi di kalangan penerbit, pada tanggal 17 Mei 1950 dibentuk Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) oleh 13 penerbit nasional. Jumlah anggota Ikapi itu bertambah setiap tahun selaras dengan pertumbuhan penerbit baru. Namun belum semua penerbit menjadi anggota Ikapi. Jumlah penerbit yang termasuk dalam Ikapi pada tahun 2005 adalah sebagai berikut.
Tabel 3
Jumlah Penerbit di Indonesia yang termasuk dalam Ikapi 2005
NO
PROPINSI
THN 2005



1
Nanggroe Aceh Darussalam
5
2
Sumatra Utara
16
3
Sumatra Barat
6
4
Riau (Termasuk Kep. Riau)
4
5
Jambi
2
6
Sumatra Selatan
8
7
Bengkulu
0
8
Lampung
1
9
Bangka Belitung
0
10
DKI Jakarta
262
11
Banten
1
12
Jawa Barat
144
13
Jawa Tengah
76
14
D.I. Yogyakarta
47
15
Jawa Timur
85
16
Bali
7
17
Nusa Tenggara Barat
1
18
Nusa Tenggara Timur
2
19
Kalimantan Barat
6
20
Kalimantan Tengah
0
21
Kalimantan Selatan
1
22
Kalimantan Timur
1
23
Sulawesi Utara
0
24
Sulawesi Tengah
0
25
Sulawesi Selatan
8
26
Sulawesi Tenggara
0
27
Gorontalo
0
28
Maluku
0
29
Maluku Utara
0
30
Papua
0

Jumlah
682
Sumber: Ikapi, 2005
Dibandingkan dengan sepuluh tahun yang lalu (1995), data di atas menunjukkan kenaikan jumlah penerbit di Indonesia sebanyak     33,7% atau 172 penerbit dalam sepuluh tahun terakhir. Dibandingkan dengan Negara-negara lain di ASEAN, dari segi jumlah, Indonesia memiliki penerbit yang memadai. Thailand memiliki 200 penerbit, Vietnam dengan 39 penerbit, Malaysia dengan 150 penerbit aktif dari 500 penerbit yang terdaftar, Singapura dengan 79 penerbit ( sumber data: Asean Conference on Book Development, 1996). Sungguhpun demikian, di Indonesia penyebaran penerbit itu tidak merata ke sluruh wilayah. Sebagian besar atau 90,7% atau 547 penerbit berada di pulau  Jawa dan hanya  9,3% atau 56 penerbit di luar pulau Jawa. Di samping itu masih terdapat 14 propinsi yang belum memiliki penerbit yang tergabung dalam Ikapi. Kurangnya penerbit di luar pulau Jawa mengakibatkan penyebaran buku yang tidak merata dan harga buku yang lebih mahal di luar pulau Jawa.
PERCETAKAN
Percetakan adalah badan usaha jasa yang melakukan pencetakan naskah menjadi dalam bentuk media cetak seperti buku, brosur, majalah dan lain sebagainya. Percetakan menerima naskah dari penerbit dan menerbitkannya dalam tata letak dan bentuk, dan jumlah yang sesuai dengan pesanan penerbit. Percetakan menyerahkan hasil cetakannya kepada penerbit dan tidak bertanggung jawab atas isi bahan yang dicetak.
Dilihat dari kemampuan mencetak buku, tidak sampai 15% dari antaranya yang memiliki peralatan lengkap untuk mencetak buku. Hal ini jelas terlihat ketika Pemerintah melakukan desentralisasi pencetakan buku pelajaran sekolah, sejumlah propinsi terpaksa melakukan pencetakan di luar daerahnya karena tidak memiliki percetakan yang dapat mencetak buku dalam jumlah yang diperlukan.
Masalah-masalah yang dihadapi oleh percetakan dalam mencetak buku antara lain ialah:
1.      Harga bahan baku kertas yang tinggi karena Pemerintah kurang mampu mengendalikan dan menekan harga bahan baku kertas (pulp).
2.      Kurangnya pembinaan mutu percetakan dari instansi yang berwewenang sehingga terjadi penyalahgunaan percetakan untuk keperluan-keperluan negatif (pembajakan, pornografi, provokasi, dlsb).
3.      Usaha percetakan buku belum menyebar di seluruh Indonesia.
4.      Kurangnya tenaga teknis percetakan yang ahli di bidangnya.
(Kongres Perbukuan Nasional, 1995).
Apabila dihitung termasuk percetakan kecil seperti percetakan kartu nama dan undangan, jumlahnya tidak kurang dari 7.000 buah. Percetakan membentuk organisasi profesi, Persatuan Perusahaan Grafika (PPGI), yang mencatat jumlah angotanya sekitar 2.500 percetakan. Akan tetapi bila dilihat dari kemampuan mencetak buku, tidak sampai 15% dari antaranya yang memiliki peralatan lengkap untuk mencetak buku. Hal ini jelas terlihat ketika Pemerintah melakukan desentralisasi pencetakan buku pelajaran sekolah, sejumlah propinsi terpaksa melakukan pencetakan di luar daerahnya karena tidak memiliki percetakan yang dapat mencetak buku dalam jumlah yang diperlukan. Alasan  utama tidak adanya percetakan yang mampu mencetak buku di propinsi tertentu ialah mereka jarang mendapat pesanan untuk mencetak buku dalam jumlah banyak karena populasi daerah itu sendiri termasuk rendah (mis. Bengkulu, Jambi, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara) dan ongkos pencetakan lebih murah kalau dilakukan di daerah lain.
DISTRIBUTOR
Pertama, dari segi pemasaran. Pada awal tahun 2000-an, masalah pemasaran terutama karena banyak penerbit tidak dapat menembus ke toko buku secara langsung. Hal ini sedikitnya disebabkan dua alasan, yakni minimnya sumber daya dan proses administrasi yang rumit. Kebanyakan rumah produksi hanya berskala kecil bahkan masih tergolong baru di dunia penerbitan sehingga kapasitas sumber dayanya pun terbatas. Sejalan dengan itu, ada banyak aturan baru (berupa restriksi) yang menyebabkan penerbit, tidak mudah menembus pasaran toko buku. Sementara, jaringan toko besar, semisal Gramedia pun seringkali menyarankan kepada penerbit buku, terutama yang masih baru, untuk melalui penyalur (distributor) saja, sambil mengantisipasi adanya oknum penerbit yang tidak konsisten dalam mengatur terbitannya, karena dianggap sangat mengganggu dalam manajemen toko modern semacam Gramedia. Karenanya, pada pasca produksi, langkah praktis pemasaran dengan menitipkan ke distributor menjadi mekanisme yang berlangsung hingga sekarang.
Kedua, problematika dalam industri buku yaitu tiga aktor utama dalam system pemasaran yang meliputi penerbit, distributor dan toko buku ini, telah menciptakan perputaran yang mengakibatkan adanya penambahan nilai jual, yang kemudian mulai dirasakan mahal oleh konsumen. Dalam mekanisme ini, ada konsekuensi rabat yang berlaku dan cukup dilematis utamanya terhadap penerbit buku. Jejaring ini umumnya menyepakati penggunaan sistem konsinyasi (titip jual) dengan kisaran mencapai 50 – 55%. Penjelasannya, jumlah diskon tersebut adalah hasil presentasi yang telah memperhitungkan royalti penulis, biaya dan laba penerbit, serta keuntungan untuk toko buku dan distributornya. Jadi, dapat dibayangkan jika harga buku tidak dinaikkan maka sudah pasti penerbit akan pingsan. Apalagi jika biaya bahan baku produksi (seperti kertas dan tinta) turut berfluktuasi dimana penerbitlah yang harus menanggung seluruhnya, maka masa depan usaha penerbitan akan semakin terpuruk. Berfluktuasinya harga buku demikian menjadi jelas, yang tidak lain sangat dipengaruhi oleh jejaring pemasaran yang terpola secara konvensional. Sangat sulit memutus rantai jaringan tersebut sebab pola pemasaran ini sudah berlaku secara umum diantara ketiga aktor industri perbukuan. Tidak ada satu pihak yang bisa disalahkan untuk kondisi tersebut, karena jejaring ini kompleks, sementara penerbit sendiri tidak berdaya untuk menembus toko buku secara langsung.
MASYARAKAT PEMBACA
Pemakai buku atau sering juga disebut masyarakat pembaca adalah semua orang yang sudah memiliki kemampuan membaca serta membutuhkan bahan bacaan. Mereka ini termasuk siswa, mahasiswa, guru, dosen, pegawai serta masyarakat umum yang memerlukan buku sebagai bahan bacaan.
Akan tetapi di kalangan masyarakat Indonesia, minat dan kegemaran membaca masih rendah. Kebanyakan masyarakat belum menggunakan waktu senggang untuk membaca. Masih jarang terlihat orang memanfaatkan waktunya untuk membaca.
Masih rendahnya minat dan kegemaran membaca di kalangan masyarakat umum dan juga di kalangan siswa dan mahasiswa di Indonesia memang harus diakui. Keadaan ini dipengaruhi antara lain oleh budaya lisan yang diwarisi sejak lama. Pada umumnya masyarakat Indonesia lebih  terbiasa menyampaikan informasi secara verbal/katawi dari pada dalam bentuk tulisan sehingga lebih terbiasa mendengar daripada membaca.
ANALISIS
PENCIPTA IDE
Masalah perbukuan di indonesia yang terjadi pada aspek pencipta ide biasanya terjadi karena para pencipta ide (termasuk didalamnya penulis, penerjemah, dan penyadur naskah) buku dalam dunia pendidikan lebih banyak daripada untuk khalayak/masyarakat luas. Hal ini karena dunia pendidikan lebih menjanjikan komersil dibandingkan buku universal (seperti novel,buku fiksi, dsb) yang dianggap kurang menghasilkan komersil(uang) jika jarang ada peminatnya. Akibatnya bisa kita rasakan bahwa pasar industri buku di Indonesia cukup banyak dikuasai oleh buku pendidikan. Oleh karena itu maka peminat masyarakat Indonesia untuk memabaca buku akan semakin berkurang. Ini semua tidak bisa kita salahkan kepada pemerintah. Jika ingin industri buku di Indonesia maju, maka seharusnya pencipta ide/penulis buku haruslah sama rata/seimbang, antara buku untuk dunia pendidikan dan buku untuk khalayak luas (universal).
PENERBIT
            Rata-rata penerbit yang ada di Indonesia itu terletak/terpusat didaerah kota-kota besar yang ada di Indonesia (contohnya pulau Jawa). Sangat banyak penerbit yang berada di kota-kota tersebut membuat proses pendistribusian buku untuk daerah-daerah terpencil menjadi agak sulit. Faktor pemerataan ekonomipun berpengaruh terhadap salah satu masalah yang terjadi terhadap industri buku di Indonesia ini. Karena kita tahu,bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Jika penerbit buku hanya berada di pusat-pusat kota besar saja, maka dampak dari masalah ini ialah akan semakin sulit masyarakat-masyarakat yang berada di kota-kota kecil untuk memperoleh kesempatan membaca buku dan semakin sulit pula mereka memperoleh ilmu atau pengetahuan baru dari sebuah buku. Karena kita tahu bahwa buku adalah sebagai salah satu sumber pengetahuan dan sumber media informasi. Dan juga jika penerbit hanya berada dikota-kota besar, ongkos produksipun akan semakin mahal. Karena proses pendistribusian itu sendiri membutuhkan biaya yang tidaklah sedikit. Dampaknya harga jual sebuah bukupun akan menjadi lebih mahal. Maka seharusnyalah pemerintah mecoba untuk menata kembali terhadap undang-undang(peraturan) peridnstrian buku yang ada di Indonesia. Contoh mudahnya saja, dengan membuat peraturan tentang pembatasan jumlah maksimal perusahaan penerbitan yang ada di kota-kota besar. Dengan begitu oyngkos produksi bisa ditekan dan harga buku menjadi lebih ekonomis untuk masyrakat luas. Memang masalah ini tidaklah mudah untuk diselesaikan, karena cukup kompleks. Tetapi secara perlahan-lahan nampaknya kita dapat memecahkan masalah tersebut.
PERCETAKAN
            Terlalu banyak faktor yang bisa kita sebutkan dalam hal masalah percetakan ini. Namun bisa kita pahami, bahwa secara garis besar kebijakan-kebijakan dari pemerintah ataupun pihak yang berwenang dalam hal ini bisa dikatakan menjadi penyebab/faktor utama yang menyebabkan masalah percetakan terjadi. Dari mulai ketidakmampuan pemerintah untuk mengontrol harga bahan baku kertas, kebijakan untuk men-desentralisasi pencetakan buku sekolah, kurangnya pembinaan mutu terhadap usaha percetakan, dsb. Akibatnya banyak dari masyarakat luas (termasuk sekolah) yang harus pergi kedaerah lain (kota-kota besar) untuk hanya sekedar mencetak tulisan mereka. Banyak juga usaha-usaha percetakan yang menyalahgunakan usaha mereka untuk melakukan sesuatu yang ilegal (pembajakan, pornografi, dsb). Pemerintah berandil besar dalam hal ini, seharusnya pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang akan mempermudah usaha percetakan di Indonesia, sehingga dengan begitu perindustrian buku di Indonesia akan menjadi semakin lebih maju dari sebelumnya.
DISTRIBUTOR
            Bisa dikatakan masalah dalam faktor distributor ini sangtlah kompleks. Mengapa begitu?karena umumnya atau rata-rata penerbit yang telah mencetak produksi buku mereka tidak bisa dengan mudah langsung mendistribusikan atau menaruh begitu saja hasil buku mereka kedalam toko-toko yang ada seperti Gramedia, Gunung agung dsb. Karena sistem yang sudah ada mengharuskan mereka untuk menyalurkan buku mereka terlebih dahulu kepada distributor yang telah ada. Akibatnya dengan melalui sistem tersebut maka harga buku yang dijual menjadi semakin mahal saja. Dan berdampak kurangnya minat pembeli untuk membeli buku tersebut. Apa solusinya? Tampaknya lagi-lagi pemerintah harus menjadi pihak yang disalahkan. Bukan bermaksud untuk menjadikan pemerintah kambing hitam, namun seharusnya pemerintah membuat suatu kebijakan yang menyeluruh untuk maslaah ini. Dari mulai kebijakan untuk proses penerbitan, lalu percetakan, hingga kedalam proses pendistribusian yang ada di Indonesia. Secara perlahan tampaknya masalah tersebut akan teratasi.
MASYARAKAT PEMBACA
            Nampaknya minat masyarakat pembaca di Indonesia sangatlah kurang. Jarang kita lihat bahwa masyarakat memanfaatkan waktu luangnya untuk membaca sebuah buku. Masalah minat ini tidaklah gampang untuk diselesaikan. Karena minat yang ada tergantung/kembali kepada diri kita sendiri masing-masing. Dampaknya bahwa masyrakat Indonesia, bisa dikatakan akan terus menjadi negara berkembang. Karena jika ingin menjadi sebuah negara maju, haruslah memiliki masyarakat yang gemar membaca seperti negara-negara adidaya (Amerika, Inggris, Prancis, dll). Seharusnya kita merubah budaya “malas baca” ini secara perlahan-lahan. Memang tidak mudah, namun jika dilakukan terus-menerus untuk menanamkan rajin membaca kepada generasi yang akan datang, tampaknya budaya tersebut akan bisa dihapuskan di Indonesia. Sehingga industri buku Indonesia akan kembali bergeliat lagi.
 
 
BAB III
Simpulan
KESIMPULAN
Kesimpulannya bahwa Perindustrian Buku di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat dan cepat bahkan dengan perkembangan tersebut juga dapat memungkinkan perbukuan di Indonesia menurun karena munculnya era digital. Akan tetapi, perindustrian buku di Indonesia masih dapat hidup tanpa harus mematikan buku dalam era digital.
SARAN
Ditengah problematika perbukuan di Indonesia, maka untuk dapat tetap mempertahankan dan mengembangkan kembali perbukuan maka hal yang harus dilakukan adalah: Pertama, industri buku masih perlu introspeksi. Untuk mempertahankan dan dapat mengembangkan kembali perbukuan maka perlu adanya introspeksi, baik dari penerbit yang dapat menjawab tantangan untuk menemukan solusi terhadap kurangnya minat baca pada masyarakat. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan cara mengadakan seminar yang membicarakan tentang perbukuan isinya membedah beberapa buku, hingga pada memberikan penyuluhan dan pemahaman kepada masyarakat untuk membeli buku di toko buku ketimbang membeli pulsa untuk internetan. Karena bagaimanapun juga buku yang ada di toko buku memiliki bahasan yang lengkap dalam satu bukunya.
Kedua,mampu menyaingi era digital. Artinya tahun ini telah berkembangnya era atau zaman digital. Ditengah perkembangan digital yang begitu pesat, maka memungkinkan timbulnya zaman atau era buku digital yang dikenal dengan istilah e-book. Oleh karena itu, hendaknya perbukuan di Indonesia harus mampu bersaing dengan era digital tanpa harus mematikan era digital. 
 
 
DAFTAR PUSTAKA
Sitepu, B.P, (2006). Penyusunan Buku Pelajaran. Jakarta:Verbum Publishing
PERTANYAAN
1.      Muhammad Reza Abas           : Mengapa buku dikatakan dengan memiliki keterbatasan “membatasi kreativitas”?
2.      Febri Priansyah                    : Letak keterbatasan buku “membatasi kreativitas” terdapat pada pengarang atau pembaca?
Jawab :
1.      Dalam pembahasan kelompok kami, disini kami membahas buku pelajaran. Karena dalam prakteknya buku pelajaran sudah tersusun dan terstruktur dalam hal bahan ajar. Sehingga dalam penerapan dikelas guru akan merasa kesulitan dalam menerapkan metode pembelajaran dikarenakan semua bahan ajar sudah ada dalam buku dan para peserta didik dapat mendapatkan informasi hanya dengan membaca buku.
Dari segi pengarang buku pelajaran juga dapat terbatasi kreativitasnya dikarenakan dalam penyusunan buku pelajaran harus mengikuti kurikulum yang berlaku.
2.      Menurut kelompok kami terdapat pada keduanya. Seperti yang sudah dijelaskan tadi bahwa dari segi pengarang harus mengikuti kurikulum yang berlaku sehingga penyusun buku teks tidak bisa mengembangkannya. Dan dari segi pembaca seperti guru akan sulit dalam menentukan metode pembelajaran apa yang akan diterapkan dikelas.